Menu Tutup

Di bawah langit Kairo yang berdebu, di mana matahari membakar jalanan dan suara klakson bercampur dengan azan, hidup seorang pria bernama Mahmoud. Ia bukan bangsawan, bukan pula pedagang kaya, hanya seorang pegawai kantoran biasa dengan jas lusuh dan sepatu yang mulai aus. Namun, di balik kehidupan yang tampak sederhana itu, Mahmoud menyimpan sebuah rahasia yang membakar jiwanya: obsesi mendalam terhadap pacuan kuda.

Pacuan kuda bagi Mahmoud bukan sekadar olahraga. Ia adalah simfoni, sebuah tarian antara manusia dan binatang, antara keberuntungan dan kehendak takdir. Semuanya dimulai dua dekade lalu, ketika ia masih remaja. Ayahnya, seorang sopir taksi, pernah membawanya ke Gezira Sporting Club, tempat pacuan kuda tertua di Kairo. Di sana, di tengah sorak-sorai penonton dan derap kaki kuda yang menggetarkan tanah, Mahmoud merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: jantungan yang berdetak seirama dengan langkah kuda-kuda itu. Ia terpikat.

Sejak hari itu, Mahmoud menjadikan pacuan kuda sebagai pelarian. Kairo, dengan segala kekacauannya—kemacetan, polusi, dan tekanan hidup—memudar ketika ia berada di tribun penonton. Di sana, dunia menjadi sederhana: hanya ada kuda, joki, dan lintasan. Ia belajar membaca gerakan kuda, mempelajari silsilah mereka, dan mencatat nama-nama seperti “Al-Saqr” atau “Nahr El-Nil” dalam buku catatan kecilnya yang sudah compang-camping. Ia tahu kuda mana yang kuat di lintasan kering, mana yang unggul saat hujan membuat tanah licin. Ia bukan penjudi biasa; ia adalah seorang pelajar pacuan kuda, seorang filsuf lintasan.

Namun, obsesi ini bukan tanpa harga. Gaji Mahmoud sebagai pegawai di perusahaan tekstil kecil hanya cukup untuk kebutuhan dasar: sewa apartemen sempit di distrik Imbaba, makanan sederhana seperti koshari dan ful medames, serta ongkos angkutan umum. Tetapi setiap akhir pekan, ia menyisihkan sebagian kecil penghasilannya untuk tiket masuk ke pacuan kuda atau, kadang-kadang, taruhan kecil. Ia bukan penjudi yang rakus; taruhannya selalu kecil, hampir simbolis. Bagi Mahmoud, kemenangan bukan tentang uang, melainkan tentang membuktikan bahwa instingnya benar, bahwa ia memahami jiwa kuda-kuda itu.

Istri Mahmoud, Layla, awalnya tak keberatan. Ia menganggap hobi suaminya sebagai kebiasaan kecil, seperti pria lain yang kecanduan kopi atau domino di kedai. Namun, seiring waktu, Layla mulai kesal. “Kamu menghabiskan waktu dan pikiranmu untuk kuda-kuda itu,” katanya suatu malam, suaranya penuh kelelahan. “Kapan kamu akan memikirkan kami? Anak-anak? Masa depan?” Mahmoud hanya tersenyum tipis, tak tahu bagaimana menjelaskan bahwa pacuan kuda bukan sekadar hobi—itu adalah napasnya, cara ia bertahan di tengah rutinitas yang mencekik.

Anak-anak mereka, Aisha dan Omar, juga merasakan jarak yang diciptakan oleh obsesi ayah mereka. Aisha, yang berusia 14 tahun, pernah bertanya, “Apa istimewanya kuda-kuda itu, Baba? Mereka cuma lari, lalu selesai.” Mahmoud tertawa, lalu mengajak Aisha ke pacuan kuda suatu hari. Ia menunjukkan seekor kuda bernama “Zahrat El-Wadi”, menjelaskan bagaimana kuda itu punya semangat yang tak pernah menyerah meski selalu start dari posisi belakang. “Kuda itu seperti kita,” katanya. “Hidup penuh rintangan, tapi ia tetap berlari.” Aisha mengangguk, tapi matanya menunjukkan ia tak sepenuhnya mengerti.

Obsesi Mahmoud juga membawanya ke dunia yang lebih luas dari sekadar lintasan. Ia mulai mengunjungi kandang-kandang di pinggiran Kairo, tempat kuda-kuda pacuan dirawat. Di sana, ia bertemu dengan pelatih, joki, dan bahkan petugas kebersihan kandang. Ia mendengar cerita tentang kuda-kuda legendaris, tentang joki yang jatuh dan bangkit lagi, tentang pemilik kaya yang memperlakukan kuda mereka seperti anak sendiri. Mahmoud menyerap semua cerita itu, mencatatnya dalam buku kecilnya, seolah-olah ia sedang menulis kitab suci pacuan kuda.

Namun, di balik semua itu, ada kegelapan yang mengintai. Pacuan kuda di Kairo bukanlah dunia yang bersih. Ada rumor tentang pengaturan hasil, doping, dan taruhan ilegal. Mahmoud tahu ini, tapi ia memilih untuk menutup mata. Baginya, kuda-kuda itu tetap murni, tak tersentuh oleh kerakusan manusia. Tetapi suatu hari, ia mendengar kabar bahwa “Al-Saqr”, kuda favoritnya, terdeteksi menggunakan zat terlarang. Dunianya seolah runtuh. Ia tak percaya kuda yang ia kagumi, yang ia anggap sebagai simbol keberanian, ternoda oleh ulah manusia. Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit Kairo yang penuh bintang, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia menangis.

Kejadian itu membuat Mahmoud berpikir ulang. Ia mulai jarang ke pacuan kuda, menghabiskan lebih banyak waktu dengan Layla dan anak-anaknya. Ia mengajak Omar bermain sepak bola di lapangan dekat rumah, mendengarkan cerita Aisha tentang mimpinya menjadi dokter. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu ia tak bisa sepenuhnya meninggalkan pacuan kuda. Itu adalah bagian dari dirinya, seperti darah yang mengalir di nadinya.

Suatu hari, seorang teman lama dari Gezira Sporting Club menghubunginya. “Ada kuda baru, Mahmoud,” katanya. “Namanya ‘Nur El-Sabah’. Kau harus melihatnya.” Mahmoud ragu, tapi rasa ingin tahunya menang. Ia pergi ke lintasan, dan ketika ia melihat Nur El-Sabah berlari—dengan langkah yang ringan namun penuh kekuatan—ia merasakan getaran yang sama seperti saat ia pertama kali menonton pacuan kuda. Kuda itu tak hanya cepat; ia punya jiwa, seperti lukisan yang hidup di atas lintasan.

Mahmoud tak bertaruh hari itu. Ia hanya duduk di tribun, tersenyum, dan mencatat nama “Nur El-Sabah” di buku kecilnya. Ia menyadari bahwa obsesinya bukan tentang menang atau kalah, bukan tentang uang atau prestise. Ini tentang keindahan, tentang menyaksikan makhluk hidup berlari menuju garis akhir dengan segala yang mereka miliki. Di tengah kekacauan Kairo, di tengah hidup yang penuh kompromi, pacuan kuda adalah pengingat bahwa ada sesuatu yang masih murni, sesuatu yang layak diperjuangkan.

Ketika ia pulang malam itu, Layla bertanya, “Kau ke pacuan kuda lagi, ya?” Mahmoud mengangguk, tapi kali ini ia tak menghindari tatapan istrinya. “Aku ingin kau ikut suatu hari nanti,” katanya. “Aku ingin kau melihat apa yang aku lihat.” Layla menghela napas, tapi ada sedikit senyum di wajahnya. Mungkin, suatu hari, ia akan mengerti.

Di Kairo yang tak pernah diam, Mahmoud terus hidup dengan obsesinya. Bukan sebagai beban, melainkan sebagai lentera yang menerangi jalannya. Pacuan kuda baginya adalah lebih dari sekadar perlombaan—itu adalah cerminan hidup, penuh harapan, kegagalan, dan keberanian untuk terus berlari.

Posted in slot

Related Posts